Makale, 6 September 2011-Nykodemus Blog.
Berikut akan saya bahas Kaitan antara Ilmu pengetahuan dan Iman ditinjau dari sudut pandang Etika Kristen. adapun materi ini saya kutip dari pendapat seorang pendeta yang bernama : GI. Jap Sutedja di websitenya yaitu : www.gepembri.org
Sejak abad 12 sains mulai mengalami kemajuan pesat dan signifikan, hingga di abad postmodern ini sains telah merajai segala bidang. Lalu bagaimana orang Kristen mengimplementasikan iman dalam kehidupan di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan? Apakah sains mempengaruhi iman Kristen dalam mengambil keputusan etis, dan adakah etika Kristen bergeser mengikuti perkembangan arus zaman?
Jika kita mempelajari Alkitab, kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah melarang manusia menggali dan mengembangkan sains. Dalam kitab Kejadian 2:27-28 tercatat ada perintah bagi manusia untuk menaklukkan alam semesta, pertanda Tuhan menyuruh manusia untuk berakal dan berilmu, sebab tanpa itu manusia mustahil mampu menaklukkannya. Bukankah penemuan-penemuan sains pada awalnya didominasi oleh saintis Kristen, pertanda banyaknya orang Kristen yang mematuhi perintah itu dan mempercayai Alkitab sebagai sumber pengetahuan. Bahkan asas-asas geologi modern pun dipelopori oleh sarjana-sarjana Kristen. Namun ironisnya setelah memasuki abad modern, justru banyak sarjana Kristen yang menjadi kritikus bagi dasar-dasar iman Kristiani. Seperti: Karl Barth dan Emil Brunner yang meragukan historis Alkitab dan pengilhamannya, bersama Rudolph Bultmann mereka berpendapat bahwa Alkitab hanya terdiri dari mitos-mitos, ketiganya adalah para teolog yang berpengaruh di abad 20. Tidak heran jika pada akhir abad 20 tersiar suara miring yang mengatakan "Allah sudah mati." Mengapa demikian? Untuk kejelasan, kita perlu melihat sedikit sejarah yang melatar-belakangi munculnya pemikiran seperti itu.
Menurut etimologi kata logika berasal dari kata λογικος (logikos), berawal dari kata λογια (logia) atau λογος (logos) yang berarti firman. Seharusnya setiap logi (ilmu) bersumber atau berdasarkan logos (firman Allah). Menjelang abad XIV, gereja masih sebagai pusat dunia dalam arti segala sesuatu masih di bawah kontrol gereja, karena Alkitab masih dipegang sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan pengetahuan. Memasuki abad XIV, muncullah Renaissance, gerakan bangkitnya kesadaran baru bagi gelombang pemikiran dan budaya (Barat dan Eropa), yang melahirkan paham Humanisme. Paham ini beranggapan bahwa manusia adalah kaidah atau ukuran segala sesuatu yang ada, jadi pusat perhatian Humanisme adalah manusia, bukan lagi Allah. Gerakan Renaissance memberikan dampak ganda, positifnya Renaissance memberikan kebebasan dalam berteologi dan menggali ilmu pengetahuan, sehingga kaum Humanis mengkritisi penyimpangan yang banyak terjadi dalam jabatan gerejawi, dan secara tidak langsung menjadi pemicu lahirnya Reformasi Kristen. Dampak negatifnya, manusia menjadi kaidah segala sesuatu, artinya segala sesuatu hanya dapat dimengerti melalui akal budi, inilah langkah awal dari Rasionalisme. Humanisme menurut keterangan Colin Brown adalah sejenis agama dengan kredonya, agama tanpa Allah, jikapun ada Allah, maka Ia tidak dapat dikenal dan tidak dapat disadari. Humanisme tidak berbeda deisme, yang menempatkan Allah begitu transenden sehingga tidak mungkin diketahui apalagi dikenal. Maka kesimpulannya manusia harus hidup bagi dirinya sendiri, senang atau tidak manusia sudah terdampar di bumi ini dan harus berjuang mempertahankan kehidupannya sendiri. Jadi manusia adalah penguasa atau pencipta bagi dirinya sendiri, ia harus menciptakan standard hidupnya sendiri, ia harus menciptakan sasaran hidupnya sendiri, dan ia harus menetapkan jalan sendiri untuk mencapai sasarannya. Terbentuklah orang-orang yang mengandalkan Rasio seperti kaum humanis, yang pola pikirnya mulai mengabaikan kebenaran-kebenaran firman Tuhan, dan mereka mencari pengetahuan atau kebenaran melalui empiris dengan hanya mengandalkan senjata rationya.
Kemudian pada abad pertengahan muncul dua kubu teologi dengan bentuk yang berbeda, pertama adalah teologi natural, yang berpendapat bahwa suatu pengenalan sejati akan Allah dan kaitan-Nya dengan dunia ini, dapat dicapai melalui refleksi rasional terhadap natur segala sesuatu tanpa perlu mempertimbangkan pengajaran Kristen. Kedua, teologi wahyu yang menaruh perhatian terhadap apa yang disingkapkan atau dinyatakan oleh Allah melalui wahyu yang tercatat dalam Alkitab. Dapat disimpulkan bahwa teologi wahyu kembali kepada wahyu Alkitab, sedangkan teologi natural kembali ke filsafat Yunani, terutama Aristoteles. Di dunia filsafat dan ilmu pengetahuan, orang menyebut filsuf Yunani yang bernama Aristoteles sebagai bapak logika, karena dia dianggap sebagai peletak dasar logika. Menurut Immanuel Kant, logika yang diciptakan Aristoteles sudah sempurna, padahal sebenarnya Aristoteles sendiri tidak pernah menggunakan istilah logika. Dia hanya memakai dua istilah, yaitu Analitika dan Dialektika. Analitika adalah pemikiran khusus untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi (rancangan usulan) yang benar, sedangkan Dialektika adalah pemikiran khusus untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang diragukan kebenarannya. Perlahan tetapi pasti, Alkitab telah disingkirkan dan kebenaran isinya diragukan bahkan menurut kaum naturalis harus dibuang. Ronald H. Nash mengatakan bahwa seorang naturalis tidak konsisten bila ia mempercayai doktrin Kristen tentang penciptaan, sebab jika theisme berkata "Pada mulanya Allah", maka naturalisme berkata, "Pada mulanya materi". Menurut C.S. Lewis melalui bukunya "Miracle" (New York: MacMillan, 1960), orang Barat yang keberatan dengan kepercayaan Kristen mengenai mujizat disebabkan paham naturalisme yang mereka percayai. Dari semua itu kita dapat melihat bahwa hikmat manusia yang dibangun berdasarkan kemampuan rasionya, memisahkan dan menjauhkan manusia dari kebenaran yang hakiki dan Tuhan. Tidak salah jika Alkitab menyatakan bahwa hikmat manusia di dunia adalah kebodohan bagi Allah (1 Korintus 3:19).
Jika diteliti dalam pertumbuhan sains sebenarnya juga terjadi banyak dilema intelektual, yakni apa yang disangka sebagai pengetahuan ternyata lebih merupakan suatu kepercayaan yang dianut tanpa terlebih dahulu dianalisis. Sebagai contoh, menjelang perang dunia kedua, dunia pendidikan begitu optimis bahwa pendidikan bermutu bisa menghasilkan manusia yang baik, sehingga mampu menciptakan dunia yang damai sejahtera tanpa terjadi perang. Meletusnya perang dunia kedua membuktikan apa yang sebaliknya, pendidikan tinggi justru memungkinkan orang membuat senjata perusak yang lebih mengerikan. Kasus pembobolan bank yang terjadi belakangan di republik ini, membuktikan sains telah mengantar kejahatan berkembang secara intelek. Fritz Ridenour melalui bukunya "Who says?" (California: Gospel Light Publications, 1967) membentangkan adanya kebohongan pakar arkeologi dalam merekonstruksi fosil-fosil dengan merekayasanya, dan juga ternyata carbon penguji umur tulang-belulang itu tidak mampu memberikan data yang akurat. Belum lagi tumpang tindih teori-teori ilmiah hasil riset yang saling menggugurkan, menyadarkan kita bahwa sains tidak mengikat sebagai kebenaran yang hakiki.
Bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen terhadap hasil sains yang bersinggungan dengan etika Kristen, misalnya pencemaran alam atau lingkungan? Dari sudut etika masalah pencemaran merupakan hal penting untuk dibahas, karena pencemaran sering dilakukan tanpa sadar, padahal bahaya dari akibatnya begitu besar. Mungkin kita tidak terlalu memperhatikan pencemaran-pencemaran yang terjadi setiap hari, yang dihasilkan dari limbah industri, dari knalpot alat transportasi, pemakaian pestisida, limbah atau sampah dari rumah ke rumah. Pencemaran tidak hanya sekedar menimbulkan bau tidak sedap atau buruk dipandang mata, tetapi memberikan ekses yang berbahaya bagi manusia dan alam. Seperti misalnya kandungan polusi yang mengeluarkan bahan kimia: unsur nikel bisa menjadi penyebab kanker paru-paru; unsur berilium menyebabkan keracunan akut dan kanker; unsur kadmium menyebabkan penyakit jantung dan hipertensi; unsur timbal menyebabkan kerusakan otak dan perubahan prilaku, bahkan mempercepat kematian. Masalah pemanasan global, terjadinya lubang ozon, mencairnya es kutub, yang sekarang ini mendapat perhatian seluruh dunia karena sudah cukup mengkhawatirkan, merupakan dampak dari pencemaran yang bersifat meluas dan berakumulasi dalam jangka waktu lama. Sejauh mana kepedulian kita? Apakah kita merasa perlu memperbaiki kendaraan transportasi kita yang tidak lulus melewati uji emisi? Atau bagaimana sikap kita terhadap polusi kecil yang ditimbulkan oleh asap nikotin, yang kita tahu tidak aman bagi kesehatan terlebih lagi bagi penghisap pasif. Apa pandangan kita, bolehkah orang Kristen merokok? Mungkin ada yang berpikir "asal tidak merugikan orang lain", lantas apakah kita boleh merugikan diri sendiri? Masih begitu banyak pertimbangan-pertimbangan etis yang perlu kita pikirkan lagi, tetapi pada dasarnya apakah kita mau menyadari dan peduli, atau tidak sama sekali?!
Bagi orang Kristen yang tidak mempelajari Alkitab, akan mengalami dilema etis dalam menghadapi sains. Misalnya, berkaitan dengan bidang kedokteran, bolehkah orang Kristen melakukan aborsi? Dalam batasan bagaimana aborsi diidentikkan dengan tindak kriminal? Jika kita memakai alat KB apakah termasuk upaya pengguguran? Bagaimana dengan pelaksanaan KB melalui proses pemandulan? Apakah etika Kristen mengharuskan kita menolak cloning, rekayasa genetika, pembuahan in vitro atau bayi tabung, euthanasia dan lainnya? Sepertinya semua itu masih berlanjut di ruang tunggu dalam kondisi pro dan kontra.
Para teolog mengetahui bahwa etika tidak dimasukkan dalam mata pelajaran sistematika, melainkan dogmatika, suatu bidang teologi yang memikirkan tentang isi iman. Menurut J. Verkuyl, pokok dogmatika ialah Allah lebih dulu mengasihi kita, sedangkan pokok etika ialah kita mengasihi Allah. Untuk mengambil keputusan etis, sebagai orang Kristen kita harus menjunjung tinggi etika yang ditopang oleh pilar-pilar etis, yaitu etika tujuan, etika tanggungjawab, dan etika wajib. Seperti pemahaman tritunggal, ketiga pilar etis tidak dapat dipisahkan untuk berjalan sendiri-sendiri, melainkan serempak di dalam kesatuan. Ketiga pilar etis ini tentunya berlandasan firman Tuhan, yang menjadi koridor bagi kita dalam mereaksi kasih Allah kepada kita, dan teropong untuk membuktikan kasih kita kepada Allah. Semua orang pasti setuju terhadap etika tujuan, tetapi orang Kristen tidak boleh hanya beretika tujuan, sebagaimana biasa kebanyakan orang senang melakukannya. Misalnya dalam pengalaman Mr. X yang membeli sesuatu barang, demi mencapai tujuan penjualan, sang penjual memberikan janji-janji seperti kwalitas terbaik, garansi perbaikan, atau layanan purnajual lainnya. Namun ketika Mr. X mengklaimnya, penjual itu sama sekali tidak memiliki etika tanggungjawab. Orang Kristen pasti memahami bahwa etika Kristen tidak kerdil seperti itu, sebab di belakang etika tujuan ada yang tidak boleh dilupakan atau ditinggalkan, yaitu etika tanggungjawab dan etika wajib.
Mengapa etika tanggungjawab? Sebab kita bertanggung jawab kepada Tuhan (Ibrani 4:13; 1 Petrus 4:5), juga kepada sesama manusia (1 Petrus 3:15). Tuntutan firman Tuhan mengajarkan kita agar hidup berdamai (Markus 9:50), bahkan kita disuruh pergi berdamai dengan saudara atau lawan (Matius 5:24-25), itu artinya kita harus hidup bertanggungjawab terhadap sesama manusia. Jadi tanggungjawab kita secara vertikal terhadap Allah, dan secara horisontal terhadap sesama manusia, inilah bentuk salib dari tanggungjawab Kristen. Kita tidak bisa hanya bilang, "Ah, yang penting saya clear di hadapan Tuhan.", kita harus juga berjuang untuk bisa clear di hadapan sesama manusia. Lain halnya jika kita bermasalah dengan seseorang dan sudah mencoba mengklarifikasi masalah kepada orang itu namun tetap disalahpahami, atau sudah meminta maaf tidak juga dimaafkan. Dalam hal itu kita tidak bersalah sebab wajar jika kita disalahpahami, ditolak dan tidak didengar (Matius 10:14), Kristus juga mengalaminya bahkan sampai dihukum mati.
Di samping itu, masih ada satu lagi yang harus kita pegang teguh, yaitu etika wajib. Mengapa etika wajib? Sebab Alkitab mencatat bahwa kita mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai orang percaya. Kita wajib hidup dalam persekutuan Kristen (1 Yohanes 1:3; 1 Korintus 15:58; Efesus 4:18), kita wajib hidup memelihara kesucian (Imamat 11:44; 19:2), wajib memuliakan Allah (Mazmur 22:24; 34:4; Amsal 3:9; 1 Korintus 6:20; Wahyu 14:7), wajib memberi persembahan perpuluhan kepada Allah (Maleakhi 3:10 bandingkan Lukas 20:25); wajib menaati Tuhan dan kebenaran firman-Nya (KPR 5:29; 1 Petrus 1:2,14; Galatia 5:3), wajib hidup sama seperti Kristus (1 Yohanes 2:6), dan sebagainya. Sebagai contoh adalah Kristus, Teladan Agung kita, Dia mencapai tujuan menjalani visi dan misi Allah dalam hal menyelamatkan manusia, tanpa melalaikan tanggungjawab-Nya di hadapan Bapa dan manusia, dan Dia juga menjalani kewajiban-Nya sebagai Anak Allah dengan ketaatan penuh sampai mati.
Setiap hari kita bergelut dalam kehidupan yang sarat dengan sarana dan fasilitas hasil kemajuan sains, orang Kristen tidak perlu menjadi sentimen terhadap sains. Jika kita percaya bahwa Allah sebagai Pencipta atas alam ini, dan Alkitab adalah Wahyu Allah, maka mustahil kita percaya Alkitab bertentangan dengan sains, sebab sains empiris merupakan hasil penelitian atas penemuan sesuatu dari alam. Sesuatu yang dihasilkan alam, tidak mungkin bertentangan dengan Sang Pencipta, maupun Firman-Nya. Seandainya kita mendapati hasil sains bertentangan dengan Alkitab, kemungkinan riset ilmiah itu keliru, maka patut kita teliti ulang atau abaikan, jangan Alkitab yang kita singkirkan. Bukankah jika sains tidak kontra dengan Alkitab, berarti sains itu tidak akan menyerang untuk meruntuhkan iman kita? Kita harus memilih secara cermat sains mana yang pantas kita gunakan secara efektif, sebab sains bisa sangat bermanfaat bagi kita, juga untuk melayani Tuhan, dan bahkan melaluinya kita bisa memuliakan Allah.
Dengan demikian berarti setiap saat kita diperhadapkan dengan banyak pilihan. Memilih untuk mengenakan baju warna apa, mungkin bebas karena tidak berpeluang melanggar etika, tetapi jika diminta memilih jenis, bukan warnanya. Jelas tidak bisa sembarang! Soalnya, apakah etis jika kita memilih memakai baju bikini ke gereja? Barangkali ada juga yang nekad melakukan itu, dengan berpikir asal tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian banyak orang. Tetapi bagaimana tanggungjawabnya secara moral, dan berkaitan dengan kewajiban, apakah itu memuliakan atau memalukan Tuhan? Maka setiap kali kita ingin memilih atau mengambil keputusan untuk bertindak, jangan lupa pertimbangkan dengan ketiga pilar etis yang telah dipaparkan, supaya kita tidak menjadi pelanggar kode etik. Pelanggaran terhadap etika Kristen adalah identik dengan dosa, dan dosa adalah pelanggaran hukum Allah (1 Yohanes 3:4), sebab firman Allah identik dengan hukum Allah, yang menjadi rambu-rambu dalam etika Kristen.
Walaupun pengaruh sains menyebabkan banyak orang telah menghina atau membuang Alkitab, tetapi sebagai orang Kristen sejati kita harus tetap teguh menghargai kedaulatan Alkitab, tetap mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang menjadi dasar iman kita. Kiranya renungan dalam rubrik ini, walaupun terbatas bahasannya, setidaknya menyadarkan kita untuk lebih berhikmat dan berlaku bijak, terutama dalam pengambilan keputusan etis.
Untuk teman teman yang mau mendownload materi lain yang membahas tentang etika kristen, coba klik tautan dibawah ini :
Download materi Etika kristen disini
Demikian pembahasan materi yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat bagi teman teman.
Terima kasih udah mampir di blog saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment