Monday, 19 September 2011

Makalah Pengantar Pendidikan : Kwalitas Pendidikan Di Indonesia

Makale-Nikodemus Saung Blog
Melanjutkan postingan saya tentang Makalah pengantar pendidikan, sebagai referensi teman teman untuk menelaah materi di mata kuliah Pengantar Pendidikan, berikut saya akan membagikan salah satu Contoh Makalah tentang Kualitas Pendidikan Di Indonesia. kiranya bisa bermanfaat bagi teman temann.

BAB I
PENDAHULUAN


Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini  sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data  UNESCO (2000) tentang  peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi  dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang  menunjukkan, bahwa  indeks pengembangan manusia Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-
99 (1997), ke-105 (1998), ke-109 (1999), ke-112 (2003), dan ke-111 (2007).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada  pada  urutan ke-12 dari 12 negara  di Asia. Posisi Indonesia berada  di bawah
Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki
daya  saing  yang  rendah,  yaitu hanya  menduduki urutan ke-37 dari 57  negara  yang  disurvei di
dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai
follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki  abad ke-  21  dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan
tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasaan ini
disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. 
Salah satunya  adalah memasuki abad  ke-  21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang  terjadi memberikan kesadaran baru bahwa
Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada  di  tengah-tengah dunia yang  baru, dunia
terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang dapat dirasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan.
Baik pendidikan  formal maupun informal. Dan  hasil  itu diperoleh setelah  membandingkannya
dengan negara  lain. Pendidikan memang  telah menjadi penopang  dalam meningkatkan sumber
daya  manusia Indonesia  untuk pembangunan bangsa. Oleh karena  itu, seharusnya  Bangsa







Indonesia harus dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing
dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah  diamati, nampak jelas bahwa  masalah  yang  serius dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik
pendidikan formal maupun informal. Dan hal  itulah yang  menyebabkan rendahnya  mutu
pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan
keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang  rendah itu juga  ditunjukkan data Balitbang  (2003)
bahwa  dari 146.052 SD di Indonesia ternyata  hanya  delapan sekolah  saja yang  mendapat
pengakuan dunia dalam  kategori     The  Primary  Years  Program  (PYP). Dari 20.918 SMP  di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori
The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di
Indonesia pada  umumnya.  Adapun permasalahan khusus dalam dunia  pendidikan yaitu:  1)
rendahnya sarana fisik 2) rendahnya kualitas guru 3) rendahnya kesejahteraan guru 4) rendahnya
prestasi siswa  5)  rendahnya  kesempatan pemerataan pendidikan 6) rendahnya  relevansi
pendidikan dengan kebutuhan 7) mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang  tersebut di atas  akan menjadi bahan bahasan dalam
makalah yang berjudul ― Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana  solusi yang dapat diberikan  dari permasalahan-permasalahan pendidikan di    
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.





4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di 
    Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
    Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar  agar para  peserta  didiknya  dapat berprestasi   
lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka  meningkatkan prestasi diri pada
khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia

Cara  melaksanakan pendidikan  di Indonesia  sudah tentu tidak  terlepas dari  tujuan
pendidikan di Indonesia,  sebab pendidikan Indonesia yang  dimaksud di sini  ialah pendidikan
yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-
pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di
masyarakat, melalui  kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar  agama dan
ketuhanan di televisi, melalui  radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang  diserap
melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-
perguruan tinggi melalui bidang  studi-bidang studi  yang  mereka  pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa  diasah melalui  pemecahan  soal-soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.(Redja,2001) 
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang  telah diketahui, kualitas pendidikan di  Indonesia  semakin memburuk. Hal
ini  terbukti  dari kualitas  guru, sarana  belajar,  dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya  punya
harapan  terpendam yang tidak dapat  mereka  sampaikan kepada  siswanya.  Memang, guru-guru
saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain
atau kekurangan  dana.  Kecuali  guru-guru lama yang  sudah  lama  mendedikasikan dirinya
menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam
mengenai pelajaran yang  mereka  ajarkan. Belum lagi masalah gaji  guru. Jika fenomena  ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama  lagi pendidikan  di Indonesia akan hancur  mengingat banyak
guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana  pembelajaran juga  turut menjadi faktor  semakin terpuruknya  pendidikan di
Indonesia, terutama  bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi  penduduk di daerah
terbelakang tersebut,  yang terpenting adalah ilmu terapan  yang benar-benar dipakai buat hidup
dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti
kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah. 
―Pendidikan ini  menjadi tanggung jawab  pemerintah sepenuhnya,  kata Presiden Susilo
Bambang  Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas  di Gedung  Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman,
Jakarta, Senin (12/3/2007). (detiknews.com,2009)
Presiden memaparkan  beberapa  langkah yang  akan dilakukan  oleh pemerintah dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1.  Langkah pertama yang  akan dilakukan  pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap     
masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya  dari angka
partisipasi.
2.  Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan  dalam akses  pendidikan, seperti 
ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender. 
3.  Langkah  ketiga,  meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru  dan 
dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi
atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5.  Langkah  kelima, pemerintah berencana  membangun  infrastruktur seperti menambah jumlah
komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6.  Langkah keenam, pemerintah juga  meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini
dianggarkan Rp 44 triliun. 
7. Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8.  Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat  miskin untuk bisa  menikmati fasilitas
penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah  ini  akan  diuraikan beberapa  penyebab rendahnya  kualitas pendidikan di
Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang  efektif adalah suatu pendidikan yang  memungkinkan  peserta  didik
untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan  demikian, pendidik (dosen, guru,  instruktur, dan trainer)  dituntut  untuk
dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan
penelitian dan survey  ke  lapangan, salah satu penyebabnya  adalah  tidak adanya  tujuan
pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta
didik dan pendidik tidak tahu ―goal apa  yang akan dihasilkan sehingga  tidak mempunyai
gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting untuk
menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika peserta didik
tidak tahu apa tujuan kita.
Selama  ini, banyak pendapat beranggapan bahwa  pendidikan formal dinilai hanya
menjadi formalitas saja  untuk membentuk sumber daya  manusia  Indonesia. Tidak  perduli
bagaimana  hasil  pembelajaran formal tersebut,  yang  terpenting  adalah telah melaksanakan
pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti
itu jugalah yang  menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan  dibidangnya  masing-masing  dan diharapkan dapat mengambil
pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan
dibidang  sosial dan dipaksa mengikuti program studi  IPA akan menghasilkan efektifitas
pengajaran yang  lebih rendah jika  dibandingkan  peserta  didik yang  mengikuti program studi
yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia.
Dan sayangnya  masalah gengsi tidak kalah pentingnya  dalam menyebabkan rendahnya
efektifitas pendidikan di Indonesia.(diknas,2009)
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang
lebih ‗murah‘. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika  memperhitungkan untuk
memperoleh hasil  yang  baik tanpa  melupakan proses yang  baik pula. Hal-hal itu jugalah yang
kurang jika melihat pendidikan di Indonesia. Yang kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya
bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. 
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan,
waktu yang  digunakan  dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang
menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam
peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik. (Anonim,2008.)
Masalah mahalnya  biaya  pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum  bagi
masyarakat. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika dibandingkan
dengan Negara  lain yang  tidak mengambil sitem           free  cost education. Namun mengapa
masyarakat  menganggap  pendidikan di  Indonesia  cukup  mahal?  Hal itu tidak dikemukakan  di
sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika  berbicara  tentang  biaya  pendidikan, tidak  hanya  berbicara  tenang  biaya  sekolah,
training, kursus atau lembaga  pendidikan formal atau informal lain yang  dipilih, namun  juga
berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang
ditempuh untuk dapat sampai  ke  lembaga  pengajaran yang  dipilih. Di sekolah dasar negeri,
memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak
hanya  itu saja, kebutuhan lainnya  adalah buku  teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain
sebagainya  yang  ketika  disurvey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang  bersangkutan. Yang
mengejutkanya  lagi, ada  pendidik yang  mewajibkan les kepada  peserta  didiknya, yang tentu
dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dengan  survey  lapangan, dapat dilihat bahwa  pendidikan tatap muka  di Indonesia
relative lebih lama  jika  dibandingkan negara  lain. Dalam pendidikan formal di sekolah
menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan
diakhiri sampai pukul 16.00.  Hal tersebut jelas  tidak efisien, karena  ketika  kami  amati lagi,
peserta  didik yang  mengikuti proses pendidikan formal yang  menghabiskan banyak waktu
tersebut, banyak peserta  didik yang  mengikuti lembaga  pendidikan informal lain seperti les
akademis, bahasa, dan  sebagainya. Jelas juga  terlihat, bahwa  proses pendidikan yang  lama
tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk
melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang. (Anonim,2008.)
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang  akan dibahas adalah mutu pengajar.
Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang
diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih. 
Kurangnya  mutu pengajar  disebabkan oleh pengajar  yang  mengajar tidak pada
kompetensinya. Misalnya  saja, pengajar  A mempunyai dasar pendidikan di bidang  bahasa,
namun di mengajarkan  keterampilan, yang  sebenarnya  bukan kompetensinya. Hal-tersebut
benar-benar terjadi jika melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah
pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah
dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang  baik juga berperan penting  dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga  sistem pendidikan selalu  berubah-ubah
sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. 
Dalam beberapa  tahun  belakangan ini, Indonesia  menggunakan sistem pendidikan
kurikulum  1994, kurikulum  2004, kurikulum  berbasis  kompetensi yang  pengubah proses
pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti
kurikulum,  juga  mengganti  cara  pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi  pelatihan
terlebih dahulu yang  juga  menambah  cost  biaya  pendidikan. Sehingga  amat disayangkan jika
terlalu sering  mengganti  kurikulum  yang  dianggap kuaran efektif lalu langsung  menggantinya
dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta  jika  keluaran yang  diinginkan dapat dihasilkan secara
optimal dengan hanya  masukan yang  relative tetap, atau jika  masukan yang  sekecil  mungkin
dapat menghasilkan keluaran  yang  optimal.  Konsep  efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi
teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam  pencapaian kuantitas
keluaran secara  fisik sesuai dengan ukuran hasil  yang  sudah  ditetapkan. Sementara  efisiensi
ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari
konsep efisiensi karena  tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian  tujuan relative
terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan
yang  efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber
pendidikan yang  sudah  ditata secara  efisien. Program pendidikan yang  efisien adalah program
yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber
pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.(Anonim,2008.)
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia,  juga  berbicara  tentang
standardisasi pengajaran  yang  diambil. Tentunya  setelah  melewati  proses untuk menentukan
standar yang akan diambil.
Dunia  pendidikan terus berubah. Kompetensi yang  dibutuhkan oleh masyarakat terus-
menerus berubah apalagi di dalam dunia  terbuka  yaitu  di dalam dunia modern dalam era
globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang  harus dimiliki oleh seseorang  dalam lembaga
pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang  dilihat sekarang  ini, standar dan  kompetensi dalam pendidikan formal
maupun informal terlihat hanya  keranjingan terhadap  standar  dan  kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh  standard dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula
sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut
seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi  untuk meningkatkan mutu pendidikan
akhirnya membawa dalam pengungkapan adanya bahaya  yang tersembunyi  yaitu kemungkinan
adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan
tujuan pendidikan tersebut.
Peserta  didik Indonesia terkadang  hanya  memikirkan bagaiman agar mencapai standar
pendidikan saja, bukan bagaimana  agar pendidikan yang  diambil  efektif  dan dapat digunakan.
Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh,
yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas  sangat  disayangkan  karena  berarti pendidikan seperti kehilangan
makna  saja karena  terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika  mempertanyakan  kembali apakah standar  pendidikan di
Indonesia sudah  sesuai  atau belum. Dalam kasus  UAN yang  hampir selalu menjadi kontrofesi
misalnya. Menilai adanya  sistem evaluasi seperti UAN sudah  cukup  baik, namun yang
disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik
mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang  dilalui peserta
didik yang telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung
sekali, evaluasi seperti itu hanya  mengevaluasi 3 bidang  studi  saja tanpa  mengevaluasi bidang
studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain  juga  yang  sebenarnya  dapat dibahas dalam pembahasan sandardisasi
pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan
membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi.





Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidak hanya sebatas yang
dibahas di atas. Banyak hal yang  menyebabkan rendahnya  mutu pendidikan di Indonesia.
Tentunya hal seperti itu dapat ditemukan jika menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan
semoga  jika  mengetehui akar  permasalahannya,  dapat memperbaiki  mutu pendidikan di
Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa  penyebab rendahnya  kualitas pendidikan di atas, berikut  ini  akan
dipaparkan pula secara  khusus beberapa  masalah yang  menyebabkan rendahnya  kualitas
pendidikan di Indonesia.(Mulyasa,2002) 
a. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana  fisik misalnya, banyak sekali  sekolah dan perguruan tinggi kita  yang
gedungnya  rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara  laboratorium  tidak standar, pemakaian  teknologi informasi tidak memadai
dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang  tidak memiliki  gedung  sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang  Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052
lembaga  yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh
ruang  kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12%  berkondisi  baik, 299.581 atau 34,62%
mengalami kerusakan  ringan  dan  sebanyak 201.237 atau 23,26%  mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk
daripada  SD pada  umumnya. Keadaan ini  juga  terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK
meskipun dengan persentase yang tidak sama.(Depdiknas,2003)
b. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39
UU  No  20/2003 yaitu merencanakan  pembelajaran,  melaksanakan pembelajaran,  menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan,  melakukan pelatihan,  melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar.
Persentase  guru menurut kelayakan mengajar  dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb:  untuk SD yang  layak mengajar  hanya  21,07%  (negeri)  dan 28,94%  (swasta),





untuk SMP  54,12%  (negeri)  dan 60,99%  (swasta), untuk SMA 65,29%  (negeri)  dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.
Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8%
yang  berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke  atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru
SLTP/MTs baru 38,8%  yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan  ke  atas. Di tingkat
sekolah menengah, dari  337.503 guru, baru 57,8%  yang  memiliki  pendidikan S1 ke  atas. Di
tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86%  yang  berpendidikan S2 ke  atas
(3,48% berpendidikan S3). (Depdiknas,1998)
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung
jawabnya.  Kualitas guru dan pengajar  yang rendah juga  dipengaruhi oleh masih rendahnya
tingkat kesejahteraan guru.
c. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya  kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya  kualitas
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII  (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah.
Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu,
dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu,
terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di
sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya  UU  Guru dan Dosen,  barangkali  kesejahteraan  guru dan  dosen  (PNS)
agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan  guru dan  dosen akan  mendapat penghasilan yang  pantas dan  memadai, antara  lain
meliputi gaji  pokok, tunjangan yang  melekat pada  gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan
khusus serta  penghasilan lain yang  berkaitan dengan tugasnya. Mereka  yang  diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi,  kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang
muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf
ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa
Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat
UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006).
d. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya  sarana  fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan  guru)  pencapaian  prestasi siswa  pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari
44 negara  dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini  prestasi siswa  kita  jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil  studi  tentang  kualitas manusia secara  serentak di
seluruh dunia melalui  laporannya  yang  berjudul    Human Development Report  2004. Di dalam
laporan tahunan ini  Indonesia hanya  menduduki posisi ke-111 dari  177 negara.  Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala  internasional, menurut Laporan Bank Dunia  (Greaney,1992), studi  IEA
(Internasional  Association for the Evaluation of Educational Achievement)  di Asia  Timur
menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca  untuk siswa  SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1
(Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata  hanya  mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan
ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian  yang memerlukan penalaran.
Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil  studi  The  Third International  Mathematic  and Science  Study-Repeat-
TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa
SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah      Asia Week  dari 77 universitas yang  disurvai di asia
pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-
68, ke-73 dan ke-75. (Greaney,1992)
e. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada  tingkat Sekolah Dasar. Data
Balitbang  Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal  Binbaga  Departemen
Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun
1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu
layanan pendidikan usia  dini  masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini
nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi
masalah ketidakmerataan tersebut.(Depdiknas,2000)
f. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya  lulusan yang  menganggur. Data  BAPPENAS
(1996) yang  dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan  angka  pengangguran terbuka  yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%,
sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-
masing  tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,  dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya  sekitar 3 juta  anak putus  sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga  menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian  antara  hasil  pendidikan dan kebutuhan dunia kerja  ini  disebabkan kurikulum
yang materinya  kurang funsional terhadap keterampilan yang  dibutuhkan ketika  peserta  didik
memasuki dunia kerja. (Depdiknas,1999)
g. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya  yang  harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya  pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK)  hingga  Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak  memiliki  pilihan lain kecuali  tidak bersekolah. Orang  miskin tidak
boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN  saja saat ini  dibutuhkan biaya  Rp 500.000,  —  sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp
1 juta sampai Rp 5 juta. (Purwanto,2006) 
Makin mahalnya  biaya  pendidikan sekarang  ini  tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha  memiliki  akses atas modal yang  lebih luas. Hasilnya, setelah
Komite  Sekolah terbentuk, segala  pungutan uang  selalu berkedok,  ―sesuai keputusan  Komite
Sekolah. Namun, pada  tingkat implementasinya, ia tidak transparan,  karena  yang  dipilih
menjadi pengurus dan anggota  Komite  Sekolah adalah orang-orang  dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS  pun hanya  menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung  jawab negara  terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi  ini  akan lebih buruk  dengan adanya  RUU  tentang  Badan Hukum Pendidikan
(RUU  BHP). Berubahnya  status pendidikan  dari  milik publik ke  bentuk  Badan Hukum  jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah
secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan
di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin  melemahnya  peran  negara  dalam sektor  pelayanan publik tak
lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri
Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya  merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang  menyerap pendanaan besar seperti pendidikan
menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan
dana  untuk membayar hutang yang  menguras  25% belanja  dalam  APBN (www.kau.or.id).
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang  Sistem  Pendidikan Nasional, RUU  Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib
Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No
20/2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,
penyelenggara  dan/atau  satuan pendidikan formal yang  didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya  perusahaan, sekolah dibebaskan  mencari modal untuk  diinvestasikan
dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM  Education Network for Justice  (ENJ), Yanti
Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah
telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung  jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya  untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat
yang kurang mampu  untuk menikmati pendidikan berkualitas akan  terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara  yang  kaya  dan  miskin.  (Republika,
10/5/2005)
Hal senada  dituturkan pengamat ekonomi  Revrisond  Bawsir. Menurutnya, privatisasi
pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-
negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
(RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak
akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal
ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa  PTN yang  sekarang  berubah status menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu
itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan
di beberapa  negara  berkembang  lainnya, banyak  perguruan tinggi yang  bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah
atau gratis. Tetapi persoalannya  siapa  yang seharusnya  membayarnya?  Pemerintahlah
sebenarnya  yang  berkewajiban untuk menjamin setiap warganya  memperoleh pendidikan dan
menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana
tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‗cuci tangan‘. (Republika, 10/5/2005)
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat
diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan  mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi  yang  diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang  ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
antara  lain meminimalkan peran dan tanggung  jawab negara  dalam urusan publik, termasuk
pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah  yang  ada, khususnya  yang  menyangkut perihal
pembiayaan  –seperti rendahnya  sarana  fisik, kesejahteraan guru,  dan mahalnya  biaya
pendidikan–  berarti menuntut  juga  perubahan sistem ekonomi  yang  ada. Akan sangat kurang
efektif jika menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang
kejam. Maka  sistem kapitalisme saat ini  wajib dihentikan dan diganti  dengan sistem ekonomi
Islam yang  menggariskan bahwa  pemerintah-lah  yang akan menanggung  segala pembiayaan
pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada  upaya-upaya  praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping
diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke  jenjang  pendidikan  yang  lebih tinggi, dan memberikan  berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas  guru. Rendahnya  prestasi siswa, misalnya,  diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-
sarana pendidikan, dan sebagainya. (diknas,2009)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kualitas pendidikan di Indonesia memang  masih sangat rendah bila  di bandingkan
dengan kualitas pendidikan di negara-negara  lain. Hal-hal yang  menjadi penyebab utamanya
yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang  masih kurang  dioptimalkan.
Masalah-masalah lainya  yang  menjadi penyebabnya  yaitu: 1)  rendahnya  sarana  fisik 2)
rendahnya  kualitas guru 3)  rendahnya  kesejahteraan guru 4)  rendahnya  prestasi siswa  5)
rendahnya  kesempatan pemerataan pendidikan  6)  rendahnya  relevansi pendidikan dengan
kebutuhan 7) mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang  dapat diberikan dari permasalahan di atas antara  lain dengan
mengubah sistem-sistem sosial yang  berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan
kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem
pendidikan nasional yang  lebih baik serta  mampu bersaing  secara  sehat dalam segala  bidang.
Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan
negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya  kualitas pendidikan berarti  sumber daya  manusia  yang  terlahir
akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam
segala bidang di dunia internasional.










DAFTAR RUJUKAN




Anonim.2009.Masalah Pendidikan Indonesia.        (Online), ( http://forum.detik.com/, diakses
november 2009)
Anonim.2008.Efektifitas Dan Efisiensi Anggaran . (Online), ( http://tyaeducationjournals
.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran/, diakses November 2009)
(http://www.detiknews.com/, diakses November 2009)
(http://www.sib-bangkok.org/, diakses November 2009)
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
November 2009)
epdiknas. ―Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005- 2009. Tersedia
pada : http://www. ktsp.diknas.co.id/ktsp sd/ppt3.
Mulyasa. (2002)  Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan Implementasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ngalim Purwanto. (2006)  Administrasi dan Supervisi Pendidikan.  Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Redja Mudyahardjo. (2001)  Pengantar Pendidikan : Sebuah Studi Awal  tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.
Sarwoto. (1998)  Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia

0 comments: