Pembelajaran IPA dan Matematika serta masalahnya
Dikutip dari Website Resmi Prof.Surya, P.Hd,penemu metode Gasing.
“Wemi 17 + 5 berapa?” pertanyaan ini saya ajukan pada seorang siswa kelas V di suatu Sekolah dasar di Kabupaten Tolikara Papua. Wemi menggambar 17 garis-garis kecil dan 5 garis-garis kecil. Kemudian ia menghitung banyaknya garis itu satu persatu hingga ia dapatkan hasil 22. Wemi termasuk salah satu anak yang cukup baik, anak yang lain bahkan tidak bisa menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian dan pembagian.
Di daerah lain di Papua, saya menginterview kali ini anak-anak SMA. Saya bertanya pada anak-anak tersebut “berapa 1/2 + 1/3=”. Tidak ada satupun yang menjawab 5/6, sebagian besar menjawab 2/5 bahkan ada yang menjawab 1/5. Saya sempat bertanya pada kepala sekolah kenapa anak-anak ini bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah menjawab :”kualitas guru disini sangat rendah dan muridnya memang tidak berbakat matematika”. “Lalu apa kriteria anak ini naik kelas?” tanya saya lebih lanjut. “Tidak ada! Semua anak dinaikan kelas” kepala sekolah menjawab dengan jujur. “Kalau tidak naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak”, lanjutnya. Orangtua disana merindukan anak-anaknya pintar, itu sebabnya mereka menyuruh anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap sekolah tidak mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut kenaikan kelas dengan parang dan tombak.
Pembelajaran Matematika dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan masalah yang besar tidak hanya di daerah-daerah tetapi juga di kota-kota besar. Banyak lembaga pendidikan mengatakan bahwa anak-anak sulit belajar matematika atau IPA karena memang mereka tidak berbakat. Menurut mereka sebaiknya anak-anak yang tidak berbakat IPA dan matematika ini diarahkan pada ilmu-ilmu sosial saja.
Namun yang kami temukan dilapangan ternyata berbeda. Selama tahun 2008/2009 saya dengan tim dari Surya Institute berkeliling ke kota-kota dan kabupaten di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Kami melatih ratusan bahkan ribuan guru IPA dan Matematika. Selama pelatihan ini kami menemukan bahwa faktor utama siswa sulit belajar matematika dan IPA ini adalah metode pembelajaran yang tepat dan kualitas guru, bukan keadaan/potensi siswa.
Potensi siswa Indonesia
Secara rata-rata kemampuan siswa Indonesia dalam belajar matematika atau IPA (fisika) sangat baik. Anak-anak Indonesia tidak bodoh. Kalau mereka mendapat kesempatan, mereka akan berprestasi luar biasa.
Sekitar pertengahan tahun 2009 kami membawa 5 anak dari kabupaten Tolikara dan 5 anak dari Wamena ke Surya Institute di Tangerang. Tolikara dan Wamena adalah daerah pegunungan di Papua yang selama ini dianggap sangat terbelakang. Dari Wamena kami ambil 1 siswa dari desa Kurulu dimana seluruh penduduknya masih mengenakan koteka dan perempuannya masih telanjang dada.
Di Surya Institute para siswa ini dilatih matematika GASING (Gampang Asyik dan Menyenangkan) 4 jam per hari. Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya siswa-siswa ini sangat cerdas matematika, berlawanan dengan anggapan selama ini yang menganggap mereka ini bodoh. Siswa ini juga punya keinginan kuat untuk maju, mereka ingin sepintar anak-anak lain dari pulau Jawa. Mereka juga sangat rajin belajar. Hasilnya? Hanya dalam waktu 6 bulan mereka sudah mampu menghitung dengan sangat baik. Segala bentuk soal pecahan dapat dikerjakan dengan baik. Semua soal cerita dari buku Matematika kelas 1 hingga kelas 6 SD dapat diselesaikan dengan sangat baik. Ternyata siswa yang selama ini dianggap “bodoh” itu dapat menjadi hebat sekali hanya dalam waktu 6 bulan asalkan mereka mendapat guru yang berkualitas dan metode pembelajaran yang tepat.
Saya masih ingat, tahun 2004 saya bawa Andrey Awoitauw siswa SMP kelas 1 dari Jayapura. Ketika dibawa ke Surya Institute ia tidak bisa menghitung pecahan. Ia hanya bisa menghitung kali, jumlah dan kurang. Tapi ketika dilatih dengan metode yang tepat dan guru yang berkualitas, Andrey mampu meraih medali emas dalam bidang Matematika SMP Olimpiade IPA Nasional 2005 di Jakarta. Bahkan nilainya melebihi nilai yang diperoleh seorang siswa yang pernah juara menjadi juara dunia matematika.
Hasil Andrey mengingatkan saya sekitar 15 tahun lalu waktu saya pulang dari Amerika Serikat, teman saya bertanya kenapa mau pulang ke Indonesia, bukankah sudah enak kerja di Pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Ketika saya jawab bahwa saya pulang karena ingin menjadikan Indonesia juara dunia dalam olimpiade fisika, teman saya ini tertawa. Ia bilang Indonesia tidak akan bisa jadi juara, anaknya bodoh-bodoh dan malas-malas. Ternyata 5 tahun kemudian, setelah saya menemukan metode yang tepat, anak-anak Indonesia mulai bermunculan menjadi juara dalam berbagai lomba tingkat dunia.
Dimulai tahun 1999 Made Agus Wirawan dari Bali merebut medali emas Olimpiade Fisika Internasional di Italia. Kemudian tahun 2005 Anike Bowaire dari Papua dan Dhina Susanti dari Semarang berhasil meraih medali emas The First Step to Nobel Prize in Physics sekaligus menjadikan Indonesia juara dunia dalam lomba tersebut. Di Tahun 2006 Jonathan Mailoa meraih peringkat 1 dari 386 peserta sekaligus membawa Indonesia menjadi juara pertama diantara 85 negara peserta Olimpiade Fisika Internasional di Singapore. Di tahun 2009 Indonesia menjadi juara dunia dalam lomba karya ilmiah International Conference for Young Scientists di Polandia dengan merebut 6 medali emas. Tahun 2009 juga Indonesia juara dunia dalam lomba Global Enterprise Challenge suatu lomba yang menggabungkan kemampuanentrepreneurship dan IPA. Di tingkat SMP kita beberapa kali juara dunia dalam International Junior Science Olympiad. Sampai tahun 2009 sudah lebih dari 69 medali emas dipersembahkan siswa-siswa Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan ini.
Hasil berbagai olimpiade ini semakin meyakinkan saya bahwa kalau kita bisa menemukan metode yang tepat dan guru yang hebat, anak-anak kita akan menjadi luar biasa.
Kualitas guru
Selama melatih ribuan guru-guru IPA dan matematika di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kami menemukan perbedaan yang cukup mencolok dari segi kualitas antara guru-guru di kota besar dan daerah-daerah terutama daerah tertinggal.
Guru di kota besar terutama dari sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya. Mereka punya kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan diri. Sebagian dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses pembelajarannya, bahkan ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak pembelajaran. Mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Soal-soal olimpiade seperti olimpiade fisika, matematika, kimia masih dirasakan terlalu berat untuk mereka. Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.
Untuk guru-guru di daerah, keinginan majunya sangat kuat. Mereka sadar bahwa mereka kurang, mereka ingin memperbaiki diri. Seorang peserta dari Aceh yang kami latih selama 1 bulan di Jakarta mengatakan: “Selama 20 tahun saya mengajar, belum pernah kami mendapatkan pelatihan seperti ini. Disini walaupun kami belajar dari pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati, kami baru sadar bahwa ternyata kami ini sangat kurang… Waktu 1 bulan ini kami anggap kurang. Kami ingin belajar lagi. Kami ingin nanti siswa-siswa Aceh jadi siswa yang pintar-pintar”.
Seorang guru dari desa di Pulau Jawa menangis “waduuuh selama ini ternyata saya mengajar salah, 15 tahun saya mengajar salah… o Gusti ampuni saya…” Guru ini mengaku ia telah mengajar konsep yang salah (miskonsepsi) tentang IPA. Ia tidak tahu bahwa yang ia ajarkan itu salah. Ia menganggap bahwa bumi bisa berputar terus karena dapat energi dari sinar matahari. Ia menganggap bahwa benda terapung karena gaya ke atas lebih besar dari gaya berat. Dan masih banyak lainnya.
Guru dari suatu daerah di Papua mengaku ia selama ini sangat bersalah, telah mengajar salah. Guru ini menghitung 23 + 3 hasilnya 56. Menurut guru ini konsep penjumlahan sama seperti perkalian. Jadi ia harus menambahkan puluhan dan satuan masing-masing dengan 3. Ia menjumlahkan 2 + 3 = 5 dan 3 + 3 = 6. Jadi hasilnya 56!. Dalam pecahanpun mereka keliru menghitung ½ + 1/3. Menurut mereka untuk menghitung penjumlahan ini pembilang dijumlah dan penyebut dijumlah jadi hasilnya 2/5.
Guru dari daerah lain mengaku bahwa selama ini ia mengajar sangat monoton. Ia telah membuat pelajaran IPA yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata pelajaran yang membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini ia tidak mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan dan mengganggap IPA atau fisika itu sulit.
Masih banyak kisah-kisah guru yang mengaku bahwa mereka selama ini belum mengajar secara GASING (Gampang, Asyik dan menyenangkan). Mereka bingung karena selama ini belum banyak dapat pelatihan yang baik.
Berdasarkan berbagai komentar dari para guru dan pemantauan di lapangan, kami menyimpulkan bahwa keadaan guru-guru IPA dan Matematika di daerah pinggiran atau daerah tertinggal adalah : 1. Mereka sadar kekurangan mereka; 2. Mereka punya kemampuan untuk berkembang asal diberikan kesempatan; 3) Mereka punya keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik; 4) mereka punya jiwa pendidik yang ingin membuat anak didiknya berhasil; 5) Mereka memerlukan tambahan sarana berupa alat demonstrasi IPA dan matematika + pelatihan menggunakan alat ini untuk membuat pelajaran menjadi lebih menarik; 6). Secara ekonomi mereka perlu perbaikan agar lebih konsentrasi dalam mendidik anak.
Jadi sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik, mereka punya hati, mereka punya keinginan maju tetapi mereka butuh bantuan, dukungan dan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.
What’s next?
Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, seluruh stakeholderpendidikan termasuk pemerintah dan masyarakat perlu saling bahu membahu dalam meningkatkan kualitas guru. Yang dimaksud kualitas disini termasuk kemampuan menguasai konten (guru IPA harus mengerti konsep-konsep IPA secara benar dan guru matematika mengerti dan mampu mengerjakan soal-soal matematika dengan benar) dan juga metode pembelajaran yang GASING (Gampang, Asyik menyenangkan). Lewat guru yang berkualitas inilah kita bisa mengubah wajah matematika dan IPA yang selama ini dianggap momok yang menakutkan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Untuk guru-guru dikota besar, diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level olimpiade sehingga siswa-siswa terbaik kita dapat kesempatan terus untuk meningkatkan kemampuannya sampai ke level olimpiade.
Untuk guru-guru di daerah terutama di daerah terpencil, perlu ada pelatihan khusus yang cukup lama (tidak hanya pelatihan sporadis yang hanya 1-2 harisaja). Pelatihan 6 bulan – 1 tahun ini akan membantu guru-guru ini untuk meng-update konten yang dimiliki dan juga memperbaiki metode pembelajaran. Kita berharap kedepannya kemampuan guru-guru di daerah ini akan mampu menyamai kemampuan guru-guru di kota-kota besar.
Memang untuk pelatihan yang lama ini butuh dana yang cukup besar, tetapi dengan dana 20 % yang dicanangkan pemerintah untuk pendidikan, hal ini tidaklah sulit untuk dilaksanakan. Saya percaya jika semua stakeholder pendidikan bekerja bahu membahu meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, maka kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat secara luar biasa.
(Prof. Yohanes Surya adalah Pendiri Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya suatu sekolah untuk mendidik calon guru untuk menjadi guru berkualitas. www.yohanessurya.com)
0 comments:
Post a Comment